Terdapat banyak orangtua siswa yang bertanya-tanya mengenai posisi madrasah dalam peta pendidikan nasional. Lebih khususnya lagi, mereka bertanya mengenai posisi ilmu eksakta di madrasah. Dengan sandangan nama madrasah dan ada di bawah Kementerian Agama, lembaga ini masih dicitrakan sebagai lembaga pendidikan yang khusus mempelajari agama (khususnya Islam). Sementara ilmu-ilmu di luar ilmu agama (ilmu dunia) menjadi pelajaran minor dan/atau malah tidak ada. Madrasah lebih banyak dianggap sebagai lembaga yang mempelajari ilmu agama (ulumuddin). Itulah persepsi yang seolah muncul dalam benak para penanya tersebut.

Pertanyaan itu tidak salah, walau tidak seluruhnya benar. Pertanyaan itu wajar dan memang perlu diajukan, baik untuk kepentingan pertanyaan ketidaktahuan, maupun stimulant bagi pengelola madrasah dalam mengembangkan layanan pendidikan di madrasah, khususnya layanan pendidikan IPTEKS (ilmu pengetahuan, teknologi dan seni). Bila mereka tidak bertanya, maka pengelola madrasah tidak bisa menggali aspirasi masyarakat mengenai masa depan anaknya yang sekolah di madrasah, atau kebutuhan masyarakat di masa depan. Padahal, hanya madrasah yang mampu memahami kebutuhan pasar itulah yang akan eksis di masa kini dan masa depan. Sementara bila kita tidak menjawab, maka ketidaktahuan mereka akan terus menahun, dan akan menjadi masalah besar bagi eksistensi madrasah di hari esok. Oleh karena itu, pertanyaan itu harus dijawab dengan lisan, dan sekaligus dengan program.
Jawaban lisan yaitu untuk menjawab ketidaktahuan (kognisi) masyarakat. Sedangkan menjawab dengan program ditujukan untuk menjawab keraguan terhadap kemampuan madrasah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni. Hemat kata, para pengelola pendidikan madrasah, tidak cukup hanya menjawab dengan lisan mengenai keraguan public terhadap tradisi ilmiah di lembaga pendidikan madrasah. Para pengelola madrasah harus mampu menjawabnya dengan program nyata di madrasah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
Dalam konteks itulah, ada beberapa contoh menarik yang dapat dikemukakan di sini. Analisis dan deskripsi ini, merupakan bagian dari informasi factual mengenai model pengembangan pendidikan di madrasah, khususnya di lingkungan MAN 2 Kota Bandung. Ada tiga karya ilmiah, yang menunjukkan bahwa persoalan ipteks di madrasah merupakan bagian yang tak terpisahkan, dari kurikulum pendidikan madrasah.
Pada awal tahun 2010, Kelompok Ilmiah Remaja MAN 2, mampu meraih kompetisi karya ilmiah di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Peringkatnya yaitu kedua. Tema yang dikedepankan yaitu pemanfaatan limbah kuah baso, sebagai pupuk alternative. Menurut para peneliti (Siswa kelas XI), kuah baso selama ini banyak dibuang secara sia-sia. Mubadzir. Baik konsumen maupun produsen (tukang baso), seringkali membuang kuah baso dan tidak dimanfaatkan untuk kebutuhan lain. Dengan eksperimen pada kecambah, ternyata kuah baso tersebut mampu memberikan pengaruh nyata pada percepatan kecambah, dibandingkan dengan air yang l ainnya.
Hasil riset itu menunjukkan bahwa tradisi ilmiah di lingkungan madrasah tampak sangat tinggi bahkan orisinal. Para siswa mampu mengembangkan kreativitasnya dan orisinalitas pemikirannya, pada aspek-aspek ilmu pengetahuan aplikatip. Mereka tidak hanya berkutat dalam tradisi ilmu-ilmu keagamaan (ulumuddin), tetapi mereka pun turut aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan (ulumudunnya).
Di bulan Juni 2010, kelompok siswa madrasah ini pun, mampu meraih juara I dalam karya tulis ilmiah tingkat provinsi Jawa Barat. Tema yang diangkatnya adalah pembuktian secara ilmiah, pengaruh air terhadap konsentrasi dan tingkat kecerdasan anak. Latar belakang pemikiran yang diangkatnya pun, dilandasi oleh kebutuhan hidup yang sederhana, yaitu meningkatkan efektivitas belajar dengan gaya hidup sehat. Hasil kajian yang dilakukan kelompok siswa madrasah ini, kian memperkokoh bahwa kalangan siswa mampu memosisikan diri, sebagai ilmuwan muda berbasis nilai madrasah, yang peka terhadap kebutuhan masa depan bangsa dan Negara.
Air dalam pemahaman kelompok ilmiah itu, bukan sekedar kebutuhan biologis penghilang dahaga. Air adalah bagian penting dalam proses pembelajaran. Implikasi praktisnya, para peneliti ini memberikan rekomendasi agar siswa yang belajar, tidak boleh dilarang untuk minum. Minum dalam proses belajar adalah bagian penting dari efektivitas belajar dan kualitas belajar. Dengan minum, bukan saja, siswa akan terhindar dari dehidrasi, tetapi konsentrasi dan kualitas belajar pun akan meningkat. Hasil riset yang berkualitas, dan keputusan ilmiah yang berani serta patut dihargai.
Terakhir, karya ilmiah yang ingin dikemukakan di sini, yaitu karya tulis siswa. Seni kaligrafi merupakan seni Islam yang kurang popular di lembaga pendidikan formal. Seni kaligrafi lebih banyak dikembangkan di pendidikan pesantren. Sementara di sekolah, termasuk madrasah, minat dan pengkondisian terhadap seni kaligrafi ini belum menjadi satu kebutuhan dan/atau cirri khas tersendiri. Pada konteks inilah, kebijakan guru PAI di MAN 2 Kota Bandung cukup menarik. Siswa kelas X, diberi bimbingan secara berkesinambungan untuk belajar kaligrafi dan mengembangkan kemampuan menulis Arab.
Dalam satu satu mereka dibimbing. Dan ujungnya, mereka mampu memiliki kitab (mushaf) tulisan siswa sendiri. Kitab yang terkumpul di madrasah ini, kini sudah mulai dihiasi oleh mushaf karya tulis siswa madrasah itu sendiri. Model pembelajaran ini, selain memberikan pembiasaan menulis huruf Arab indah (kaligrafi), juga memberikan ruang untuk senantiasa dekat dengan Kitab Suci Islam yaitu Al-Quran. Pada bagian lain, melalui model ini, siswa akan memiliki rasa bangga dan sukacita, karena dia dapat membaca al-Quran, karya tulisnya sendiri.
Melalui paparan ini, penulis ingin simpulkan bahwa tradisi ilmiah merupakan bagian penting dari proses pembelajaran di madrasah. Tradisi ilmiah bukanlah sesuatu yang aneh, dan bukan sesuatu yang asing dalam kehidupan seorang muslim muda, yang sedang belajar di madrasah. Belajar ilmu pengetahuan dan teknologi, serta seni budaya, merupakan hal biasa dan menjadi kebutuhan akademik bagi siapapun yang belajar di madrasah. Belajar itu adalah wajib, dan materi pelajaran apapun yang bisa mengangkat martabat kehidupan manusia, menjadi materi ajar yang perlu dipelajari oleh seorang muslim.
Dengan temuan di lapangan ini, maka Disertasi Afifuddin (2008) yang menyatakan bahwa rata-rata kemampuan eksakta siswa madrasah lebih rendah dibandingkan siswa sekolah umum yang ada di bawah naungan Dinas Pendidikan, sedikit terkoreksi. Atau dengan bahasa lain, karena ada disertasi itulah, kemudian anak-anak madrasah ingin membuktikan bahwa kemampuan siswa madrasah itu tidak jauh berbeda, dan bahkan mampu unggul dibandingkan dengan siswa sekolah umum biasa.