Berita mewabahnya stress (epidemic of stress) di masyarakat kita sudah mulai bermunculan, khususnya terjadi pada orang-orang yang pada musim pilleg kemarin mencalonkan diri sebagai caleg. Bahkan wabah ini sudah memakan sejumlah korban, misalnya seorang kader PKB di Jawa Barat bunuh diri, dan seorang kader PAN meninggal dunia di Bali. Kenyataan ini sudah tentu sangat memprihatinkan kita semua, khususnya para pencinta dan pengagum demokrasi. Dengan data ini, kita mencatat bahwa demokrasi di Indonesia, bukan saja mahal secara ekonomi tetapi mahal secara kemanusiaan.

Mahalnya demokrasi secara kemanusiaan ini, dilihat pula dengan munculnya intrik politik dan konflik politik horizontal di masyarakat pasca pemilu. Ketegangan politik ini, bukan saja menyebabkan lambannya penghitungan suara di KPU, namun mengancam lahirnya konflik politik yang meregang nyawa. Harga sosial atau harga kemanusiaan yang kini harus dibayar itu adalah tingginya orang yang mengalami stress.
Dalam pandangan psikologi, stress adalah hal biasa dan wajar terjadi pada setiap manusia. Setiap orang potensial mengidap stress. Apapun penyebabnya, dan bagaimanapun kualitasnya. Seseorang sempat merasakan stress dalam hidupnya. Untuk sekedar contoh, anak-anak kita yang kini sedang berada di bangku pendidikan dasar dan menengah, tengah atau akan menghadapi ujian nasional (UN). Sedikit banyak mereka pun merasakan ada tekanan psikologi yang berlebih atau stress dalam dirinya. Bahkan ada kasus yang mengalami depresi dibuatnya.
Stress adalah bagian dari kehidupan manusia. Hal yang pasti, bukan antipati terhadap stress namun perlu adanya kecerdasan manajerial dalam mengelola stress. Kalangan manajemen, menyebutnya stress itu sendiri pada dasarnya dapat digunakan sebagai pemicu untuk mendorong kreativitas diri. Stress adalah tombol penekan atau pelecut bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang lebih maksimal guna menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Hemat kata, kita bangsa Indonesia, harus merumuskan mekanisme umum dalam mengurangi stress yang bisa berbuah negatif bagi diri dan masyarakat.
Mengapa caleg-caleg kita saat ini, atau yang kemarin ikut pileg (pemilihan umum legislatif) gagal mengelola stress ? ini adalah persoalan besar dan persoalan bangsa kita saat ini. Untuk menjawab masalah ini, dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Untuk kepentingan wacana ini, setidaknya ada beberapa faktor sosial yang menyebabkan terjadinya wabah stress di lingkungan caleg (partai politik) kita.
Pertama, hal ini menunjukkan bahwa para caleg itu belum siap berdemokrasi. Gejala ini sudah dimaklumi bersama dan sudah diduga sedari awal. Namun sayangnya, pihak partai politik membiarkan jalur aktivitas ini terbuka diisi oleh kelompok mereka, sehingga tidak mengherankan bila kemudian memunculkan caleg yang stress. Bukan hanya yang kalah dan jumlah suara yang tidak kesampaian, namun mereka yang menang pun ada yang mengalami stress.
Padahal, kita sepakat bahwa demokrasi hanya akan berjalan dengan baik, bila sudah ada kematangan berpolitik. Bukan hanya dari kalangan elit partai, namun dari rakyat dan juga calon legislatif. Ketidakmatangan berpolitik hanya menyebabkan anomali perilaku politik di setiap level.
Kedua, diakui atau tidak, motif transaksi ekonomi dalam pemilu masih sangat kental. Mereka yang stress, bukan sekedar karena kurangnya dukungan dari masyarakat, namun mereka merasa rugi secara ekonomi. Motif transaksi ekonomi yang dilakukan oleh para caleg dilakukan mulai dari sosialisasi dengan partai politik, kampanye, dan juga transaksi dengan rakyat. Besarnya biaya politik dalam kampanye itulah yang diduga keras menjadi faktor penentu munculnya ketegangan dalam diri caleg.
Ketiga, harapan yang terlalu berlebih. Para caleg salah perkiraan. Mereka menganggap bahwa suara rakyat bisa dibeli dengan selembar kertas atau setumpuk janji. Pengorbanan yang bersifat ekonomi di masa kampanye, diduga akan memberikan dampak nyata terhadap raihan suaranya. Pada kenyataannya, harapan itu menjadi sangat tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Fenomena tingginya harapan tersebut, merupakan bentuk sebuah kegagalan dalam memahami aspirasi atau psikologi politik rakyat. Para caleg menganggap bahwa psikologi politik rakyat masih sangat mudah untuk diakali dengan janji-janji politik, atau lembaran uang. Dugaan yang terlalu naif inilah, yang kemudian menyebabkan melesetnya sangkaan politik para caleg, dan kemudian membuahkan stress yang tinggi pada diri masing-masing.
Keempat, hal yang sangat memprihatinkan, yaitu adanya trend harapan menjadikan posisi sebagai legislatif untuk memperbaiki nasib. Latar belakang para caleg itu, diantaranya adalah ada yang tidak memiliki pekerjaan, pekerjaan serabutan, atau meminjam istilah demografisetengah pengangguran, yaitu pendapatan dan jam kerja tidak sesuai dengan standar kebutuhan minimal. Dari latar belakang inilah, kemudian mereka menenteng asa menuju senayan.
Besarnya animo rakyat untuk nyaleg, dan tingginya peserta caleg di tahun 2009 ini, mengingatkan kita pada fenomena tingginya pelamar kerja di Disnaker (Dinas Tenaga Kerja). Partai politik seolah menjadi makelar disnaker, dan KPU menjadi biro jasa penyalur tenaga kerja. Tidak jauh berbeda dengan mereka yang ingin melamar kerja ke pelayaran kapal asing, atau menjadi TKI, yang harus mengeluarkan dana awal jutaan rupiah (kendati harus pinjam kanan-kiri). Ketika mereka gagal (atau tertipu) stress pun terjadi. Hal serupa itulah, terjadi di lingkaran partai politik saat ini.
Kelima, berdasarkan fakta-fakta yang ada saat ini, tampaknya perlu dipertimbangkan untuk melakukan seleksi caleg di tingkat partai politik. Sudah menjadi kewajiban partai untuk melakukan seleksi secara ketat terhadap caleg-caleg yang akan dijualnya. Dengan menerapkan mekanisme ini, setidaknya ada tiga kelompok yang diselamatkan citranya, yaitu (a) masa depan bangsa Indonesia, yaitu terlepas dari diisinya oleh caleg-caleg tidak matang, (b) citra partai politik dari partai picisan pemilik kader murahan dan cengeng, (c) menyelamatkan nyawa kandidat itu sendiri.
Mau tidak mau, kita harus sampai pada kesimpulan bahwa munculnya kader-kader picisan adalah akibat dari kegagalan partai dalam melakukan pengkaderan atau rekruitmen caleg. Kegagalan partai dalam aspek ini, menyebabkan partai politik miskin kader yang matang dan dibesarkan organisasi, dan kemudian membeli kader ditengah jalan. Akibat sudah nyata, yaitu bila gagal menjadi lagislatif menyebabkan stress, dan sedangkan bila jadipun, akan menjadi caleg picisan yang tidak memiliki visi politik yang jelas.
Pada konteks inilah, untuk menghindari kader caleg picisan atau partai picisan, sudah saatnya pemerintah, atau KPU mendatang memberikan batasan mengenai bakal calon legislatif. Misalnya saja, yaitu memiliki pengalaman organisasi dalam partai minimal 2,5 tahun. Standar seperti ini, diharapkan akan menjadi bagian dari proses pembelajaran dan pendewasaan sikap politik kader sehingga menjadi kader yang memahami visi dan misi partai, serta memiliki karakter sebagai politisi yang diharapkan oleh bangsa dan negara.
Keenam, wakil rakyat adalah pemimpin, dalam konteks ini, yaitu pemimpin kolektif bangsa ini untuk mengawal reformasi dan pembangunan. Bila kalangan wakil rakyatnya itu sendiri tidak memiliki kemampuan atau kewibawaan politik, maka tidak aneh bila partai-partai politik kita akan menjadi partai picisan yang sarat dengan transaksi politik dan transaksi ekonomi.
Fenomena munculnya kader-kader picisan atau hanya bermodal finansial (dana politik) dan popularitas, potensial menjadi sarang lahirnya budaya transaksi-ekonomi-politik. Kiranya tidak terlalu sulit untuk memahami mengapa banyak muncul kader picisan di tengah dinamika politik kita. Partai membutuhkan suara dan dana politik, sementara pemilik modal mengharapkan prestise politik atau kursi politik. Pertemuan antara dua kepentingan inilah, kemudian mendorong munculnya kader-kader picisan. Sementara bila kedua kepentingan ini tidak terjadi, kedua belah pihak ini tampaknya tidak memiliki tanggungjawab yang proporsional.
Sekedar contoh. Sewaktu sehat, partai sangat berharap kader-picisannya mampu tampil sebagai pendulang suara partai. Namun ketika mereka stress, bahkan kehilangan nyawa, kita melihat minimnya rasa tanggungjawab partai terhadap kader-kadernya tersebut. Padahal sesungguhnya, nasib yang mereka alami pun adalah buah dari buruknya mesin politik partai yang ditungganginya tersebut. Dengan kata lain, bisa jadi, mereka itu gagal meraih kursi kekuasaan, karena mesin dan kendaraan politiknya yang sudah buruk.
Terkahir, di lihat dari sisi kepemimpinan, hal ini menunjukkan bahwa jiwa kepemimpinan dan atau kenegarawanan dari seorang caleg masih jauh dari yang diharapkan. Masih beruntung mereka tidak terpilih, dan atau bagi mereka yang terpilihpun bisa jadi memiliki mentalitas yang tidak jauh berbeda. Mereka tidak stress berlebih, karena mendapat suara yang diharapkan. Sedangkan bila tidak kesampaian, banyak kemungkinan yang bisa terjadi.
Entah karena tidak terpublikasikan, atau memang tidak banyak kasus, bila di zaman Orde Baru kita tidak mendengar banyak kasus yang stress seperti kali ini. Namun demikian, hal yang perlu dijadikan catatan kita saat ini, perlu dirumuskan mekanisme baru dalam melakukan penjaringan bakal caleg. Karena bila tidak ditangani, kisah-kisah memilukan seperti saat ini, akan terus terjadi, dan korban akan terus berjatuhan. Oleh karena itu, selamatkan nyawa manusia, dan masa depan bangsa, dengan melakukan regulasi dalam mekanisme pencalonan calon legislatif. Salah satu diantaranya, adalah menetapkan batasan pengalaman organisasi, dan dana politik pada setiap bakal calon. Dengan batasan seperti ini, dan juga batasan administrasi lainnya, diharapkan dapat mengurangi atau menghapuskan fenomena caleg yang stress.